Sabtu, 18 Mei 2013

TUGAS 5 (Bahasa Indonesia 2)

Nama   : Siti Mardianah
Npm    : 16210600
Kelas   : 3EA16

RESENSI

Pengertian Resensi
Dalam bahasa latin resensi atau recensie artinya "melihat kembali, menimbang atau menilai". Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia resensi memiliki arti pertimbangan atau pembicaraan tentang buku; ulasan buku. Tindakan meresensi memiliki arti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas atau mengkritik buku. Jadi, resensi ialah ulasan atau penilaian atau pembicaraan mengenai suatu karya sastra (cerpen, novel, drama/film, puisi).

Tujuan Resensi
  1. Memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif (mendalam) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam suatu karya.
  2. Memberikan gambaran kepada masyarakat apakah karya yang diresensi itu merupakan suatu karya yang bermutu atau tidak.
  3. Memberikan gambaran kepada masyarakat apakah buku itu layak untuk dibaca.

Unsur-unsur Resensi
  1. Unsur Intrinsik yaitu unsur yang membangun cerita karya sastra yang berasal dari dalam.
  2. Unsur Ekstrinsik yaitu unsur yang membangun cerita karya sastra yang berasal dari luar (kebalikan dari unsur intrinsik).

Unsur Intrinsik
>Tokoh
Tokoh ialah individu yang mengalami berbagai peristiwa didalam cerita. Jika dilihat dari peran tokoh dalam penggambaran plot dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh pembantu, sedangkan jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat pula dibedakan kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
  1. Tokoh Protagonis ialah tokoh yang memiliki watak tertentu dalam segi kebenaran (baik hati, jujur, setia, dll).
  2. Tokoh Antagonis ialah tokoh yang memiliki watak yang bertentangan dengan tokoh protagonis.
  3. Tokoh Tritagonis ialah tokoh yang selalu menjadi penengah, dan sering dimunculkan sebagai tokoh/orang ketiga.
  4. Tokoh Pembantu/peran pembantu/figuran ialah tokoh yang membantu cerita tokoh utama, posisinya bisa sebagai seorang pahlawan ataupun sebagai penentang tokoh utama.
>Penokohan/Perwatakan
yang dimaksud dengan penokohan ialah penggambaran tentang watak tokoh dalam suatu cerita karya sastra. Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk menggambarkan watak tokoh dalam cerita karya sastra, yaitu:
  1.  Campuran ialah penggambaran watak tokoh melalui penggabungan cara analitik dan dramatik dengan tujuan untuk saling melengkapi.
  2.  Analitik cara ini dilakukan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh secara langsung. Contoh: Siapa yang tidak mengenal Didi yang pintar dan selalu ceria. Meskipun secara fisik terlihat pendek namun sosoknya yang ramah dan baik hati kepada teman-temannyamembuat dirinya menjadi panutan.
  3.  Dramatik ialah cara pengarang untuk menggambarkan tokoh utama secara tersurat, dengan kata lain tidak langsung. Penokohan cara ini bisa melalui penggambaran tempat tinggal, percakapan/dialog antar tokoh, fisik, tingkah laku, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu dan jalan pikiran tokoh.
Dibawah ini contoh paragraf yang menggambarkan tokoh dengan cara dramatik:
Penggambaran Tokoh Melalui Jalan Pikiran Tokoh.
contoh :
Tatkala aku masuk sekolah MULO, demikian fasih lidahku dalam Bahasa Belanda sehingga orang yang hanya mendengarkanku berbicara dan tidak melihat aku, mengira bahwa aku anak Belanda. Aku pun bertambah lama bertambah percaya pula bahwa aku anak Belanda, sungguh hari-hari ini makin ditebalkan pula oleh tingkah laku orang tuaku yang berupaya sepenuh daya menyesuaikan diri dengan langgam lenggok orang Belanda.
Penggambaran Tokoh Melalui Tingkah Laku/Perilaku Tokoh.
contoh :
Di siang hari yang terik itu dia berjalan sendiri. Dengan gontai ia gendong tas itu. Sesekali terlihat bahwa ia menegur dan bahkan bertanya kepada orang yang dilaluinya. Setiap selesai ia bertanya, ia selalu menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih.
Penggambaran Tokoh Melalui Dialog Antar Tokoh.
contoh :
"Kupukul kau kalau tidak mau mengaku. Dengan cara apa lagi aku mendapatkan pengakuanmu.".......
>Tema
Tema ialah suatu unsur dalam karya sastra yang menjadi pokok masalah/pokok pikiran dari pengarang melalui karyanya (jalan cerita).
>Plot / Alur
Plot atau Alur ialah jalan cerita atau rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir. Rangkaian peristiwa ini disusun berdasarkan hukum kausalitas (hubungan yang menunjukkan sebab-akibat). Berdasarkan hubungan tersebut setiap cerita memiliki plot/alur cerita sebagai berikut :
  1. Tahapan perkenalan ialah tahap dimana permulaan suatu cerita dimulai dengan suatu kejadian, tetapi belum ada ketegangan. Di tahap ini berisi pengenalan tokoh, reaksi antar pelaku, penggambaran fisik dan penggambaran tempat).
  2. Menuju ketahap pertikaian ialah tahap dimana terjadinya pertentangan antar pelaku (awal mula pertentangan selanjutnya). Konflik dapat dibagi menjadi 2, yaitu: a). Konflik Internal ialah konflik yang terjadi dalam diri sang tokoh. b). Konflik Eksternal ialah konflik yang terjadi dari luar diri tokoh (konflik tokoh dengan tokoh, tokoh dengan lingkungan, tokoh dengan tuhan, dll).
  3. Komplikasi/tahap penanjakan konflik, ketegangan dirasakan mulai semakin berkembang dan rumit terjadi pada tahap ini (nasib pelaku semakin sulit diduga).
  4. Klimaks merupakan ketegangan yang semakin memuncak (perubahan nasib pelaku sudah mulai dapat diduga, kadang pula tidak terbukti pada akhir cerita).
  5. Penyelesaian, tahap akhir cerita pada bagian ini terdapat penjelasan mengenai nasib-nasib yang dialami para tokoh dalam cerita setelah mengalami konflik dalam cerita. Beberapa cerita terkadang menyerahkan penyelasaian kepada pembaca, sehingga akhir cerita seperti ini tak ada penyelesaian atau menggantung.
Plot dapat dibedakan menjadi dua macam jika dilihat dari segi keeratan hubungan anta peristiwa, yaitu:
  1. Plot Erat yaitu sebuah cerita yang memiliki plot erat jika hubungan antar peristiwa terjalin dengan rapat, sehingga tak ada satu peristiwa pun yang dapat dihilangkan.
  2. Plot Longgar yaitu jika hubungan antar peristiwa terjalin kurang erat dan jika ada salah satu jalan cerita yang dihilangkan maka penghilangan jalan cerita tersebut tidak akan mengganggu jalan cerita.
Berdasarkan jalan cerita plot dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Plot Ledakan yaitu plot yang akhir ceritanya mengejutkan dan tak terduga-duga.
  2. Plot Lembut yaitu plot yang akhir ceritanya berakhir tanpa adanya kejutan.
  3. Plot Campuran yaitu plot yang akhir cerita menggabungkan kedua plot sebelumnya (ledakan & lembbut).
Berdasarkan rangkaian peristiwanya plot dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Plot Maju, yaitu rangkaian peristiwa yang diceritakan mulai dari awal hingga akhir cerita.
  2. Plot Mundur/sorot balik/flash back, yaitu peristiwa-perisiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu, baru menceritakan peristiwa-peristiwa pokok sebagai kenangan/masa lalau sang tokoh.
  3. Plot Campuran, yaitu peristiwa-peristiwa pokok diceritakan diawala lalu dilanjutkan dengan menceritakan peristiwa-peristiwa lama/ masa lalu tokoh sebagai sebuah kenangan, dan diakhiri dengan peristiwa-peristiwa pokok(masa kini).
Plot yang dilihat dari segi sifatnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Plot Terbuka, yaitu akhir cerita yang dapat merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita.
  2. Plot Tertutup, yaitu akhir cerita yang tidak dapat merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita.
  3. Plot Campuran, yaitu penggabungan antara plot terbuka dan plot tertutup.
>Gaya Bahasa
Gaya Bahasa ialah cara pengarang dalam mengungkapkan ide/gagasan melalui cerita.
>Sudut Pandang/Point Of View
Sudat pandang ialah proses pengarang dalam sebuah cerita atau karya sastra. Posisi pengarang ini terbagi menjadi 2, yaitu :
  1. Pengarang berperan langsung sebagai tokoh utama.
  2. Pengarang hanya sebagai orang ketiga yang posisinya sebagai pengamat.
 >Amanat
 Amanat ialah pesan/kesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui jalan cerita. Pesan dalam karya sastra bisa berupa, kritik, saran, harapan, usul, dll.
>Latar/Setting
Latar ialah tempat dimana terjadinya kejadian/peristiwa dan waktu terjadinya sebuah peristiwa, latar juga menjelaskan segala keterangan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dakam plot cerita. Latar terbagi lagi menjadi beberapa unsur seperti dibawah ini:
  1. Latar Tempat ialah latar yang mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa dalam novel. Contoh : Kota, Pedesaan, dll.
  2. Latar Waktu ialah latar yang berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa. Contoh : masa kini, masa lalu, dll.
  3. Latar Sosial ialah latar yang mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat. Contoh : Kesederhanaan, keramahan, dll.
Didalam karya sastra latar berfungsi sebagai :
  1. Atmosfer atau Suasana merupakan latar yang lebih mudah dibicarakan daripada didefinisikan. Latar ini semacam aura rasa dan emosi yang ditimbulkan penulis melalui tulisannya, agar membantu terciptanya ekspektasi pembaca.
  2. Latar Tempat sebagai Elemen Dominan, latar tempat memiliki peran penting dalam karya sastra. Latar tempat menjadi unsur netral atau spiritual dalam sebuah tempat tertentu. Termasuk dalam fiksi jenis ini: Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang berbicara tentang Belitong pada zaman Orde Baru.
  3. Latar Waktu sebagai Elemen Dominan, dalam karya sastra ada yang menggunakan elemen waktu sebagai unsur yang dominan. Fungsi latar ini terjadi terutama pada karya sastra yang berlatar sejarah. Tidak hanya waktu yang menjadi unsur utama yang terlibat. Ada unsur-unsur nilai dalam waktu, misalnya unsur nilai dalam masa kemerdekaan, masa Orde Baru, dsb.
  4. Metafora, artinya jika latar spiritual ialah unsur latar yang secara spiritual memberi efek nilai pada karya sastra, maka fungsi latar ini adalah fungsi eksternal yang tidak secara langsung (eksplisit) berpengaruh pada cerita. Sebagai metafora, latar menghadirkan suasana yang secara tidak langsung menggambarkan nasib tokoh.
Contoh : 
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana. Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Pohon-pohon kelapa digambarkan dengan indah dalam sebuah ekosistem yang padu. Namun kemudian digambarkan dalam suasana yang mengerikan dengan keadaan yang tidak menentu. Sekilas latar ini hanya latar netral yang tidak melambangkan apa-apa. Kemudian diketahui bahwa tokoh utama Lasi yang hidupnya bahagia dalam kesederhanaan mulai masuk dalam ketidakpastian setelah kecelakaan yang menimpa Darsa.

Unsur Ekstrinsik
>Latar belakang kehidupan pengarang.
>Pandangan hidup pengarang.
>Situasi sosial, Budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut.

Beberapa Hal yang Terdapat Dalam Resensi
Dibawah ini terdapat beberapa hal yang terdapat di dalam sebuah resensi karya sastra :
  1. Judul Resensi
  2. Data/Identitas Karya Sastra
  3. Isi Resensi
  4. Kekurangan & Kelebihan
  5. Penutup
Terdapat perbedaan saat pemuatan data/identitas karya sastra yang diresensi, seperti pada resensi buku data yang tercantum ialah seperti berikut ini: judul buku, penulis & penerjemah (jika buku itu berupa terjemahan dari bahasa asing), nama penerbit, cetakan, tahun terbit, tebal buku & jumlah halaman. Pada drama/film maka data untuk resensinya adalah berupa: judul drama/film, penulis, sutradara, genre, pemain, penyunting & penerjemah, tahun terbit, penerbit.

Contoh Resensi
Resensi Film Soegija: Antara Sejarah dan Kemanusiaan 

>Data/Identitas Film
Judul : Soegija
Jenis Film : Drama, Biografi
Produser : Murti Hadi Wijayanto, Djaduk Ferianto, Tri Giovanni
Sutradara : Garin Nugroho
Penulis Naskah : Armantono & Garin Nugroho
Durasi Film : 116 menit
Perusahaan Film : Studio Audio Visual Puskat
Diputar : Mulai 7 Juni 2012 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia

>Pemeran Film Soegija
Nirwan Dewanto
Anissa Hky
Wouter Braaf
Wouter Zweers
Butet Kartaredjasa
Olga Lydia
Henky Solaiman
Rukman Rosadi
Nobuyuki Suzuki
Margono
Eko Balung
Andrea Reva
Andreano Fidelis

>Pendahuluan 
"Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan”(Mgr. Soegijapranata).
Sutradara Garin Nugroho kembali datang ke layar lebar dengan film terbarunya, Soegija. Film yang bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Untuk menggarapnya, Garin membutuhkan 2.275 pemain untuk bermain dalam film berjudul Soegija. Bukan hanya jumlah pemainnya saja yang berlimpah. Garin juga banyak menggunakan pelakon baru, yang tidak memiliki latar belakang sinematografi. Hanya Olga Lydia dan Butet Kertarajasa saja pemain yang memiliki modal akting.
Soegija bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Film itu menceritakan peran Soegija ketika Perang Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar negeri demi melawan penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Garin sengaja menghidupkan setiap tokoh dalam film tersebut. Setiap tokoh digambarkan dengan konflik hidup masing-masing yang menuntun mereka pada suatu transformasi sejati.
>Isi
“Film yang melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia pada tahun 1940-1949. Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar.
Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (Nirwan Dewanto) di atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata Belanda. Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr. Alb. Soegijapranata SJ, dan hijrah dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang. Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.
Tahun demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki gereja sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak.
“Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.
Ia memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan Saat Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu yang kembali datang ke Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan Vatikan sehingga negara itu menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Soegija memang terkenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya itu, Seogija menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno. Film garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak selalu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang.
Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang, kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan pasukan pemuda.
Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat, perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf), jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan nasionalisme Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena perang.
Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,” patut dicermati lebih dalam makna dibaliknya.
“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di masa sekarang".

>Kekurangan & kelebihan 
Kekurangan
  1. Sosok Soegija pada cerita tidak terlalu jelas, karena sosoknya hanya terjadi dibeberapa adegan sehingga membuat karakter Soegija tidak merekat kuat.
  2. Begitu banyak pemain dalam film ini membuat film ini tidak memperlihatkan satu pemain pun yang mendominasi penceritaan.
  3. Pada pemutaran film Soegija tokoh Soegija tidak diperankan secara gamblang. Penggambaran Soegija hanya berupa potongan-potongan adegan, foto, bahkan puisi Soegija yang dia tulis pada masa itu yang terinspirasi dari Soegija.
Kelebihan
  1. Film yang lebih mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang aspek agama.
  2. Tata artistik yang mampu memikat penonton serta pemilihan kostun dan tempat untuk setiap adegan film begitu pas dengan keadaan negara pada masa tahun 40-an.
>Penutup
Secara keseluruhan film bagus, tapi yang lebih menonjol ialah pada tata artistik dan musiknya disajikan dengan sangat bagus. Pemilihan kostum dan pemilihan tempat sangat pas dengan latar belakang tahun 40-an, ditambah lagi dengan suasana Nasionalis pada masa itu.
Sumber :-http://id.wikibooks.org/wiki/Subjek:Bahasa_Indonesia/Materi:Resensi
             -http://id.wikibooks.org/wiki/Resensi_Film
             -http://life.viva.co.id
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar