Senin, 18 November 2013

TUGAS GCG

Nama   : Siti Mardianah
Npm    : 16210600
Kelas   : 4EA16

Penerapan GCG dalam Pemerintahan / Institusi Pemerintah
Pengadaan barang dan jasa di instansi Pemerintah memiliki peluang yang besar untuk terjadinya penyelewengan. Penyelewengan dapat berupa menaikkan nilai proyek dari nilai yang sebenarnya, tidak melakukan prosedur pelelangan yang ditetapkan oleh peraturan, dan pengadaan barang/jasa fiktif.
Banyak kasus pengadaan barang/jasa yang ada sekarang ini, akhirnya menyeret para pemegang kekuasaan pemerintahan termasuk di dalamnya para Menteri menjadi terdakwa dan juga menjadi pesakitan masuk ke dalam penjara. Dan berita yang paling up to date adalah kasus SISMINBAKUM di Kementerian Hukum dan HAM, dimana mantan Menteri Hukum dan HAM, Yuzril Ihza Mahendra telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka.
Berdasarkan uraian diatas maka focus penulisan adalah bagaimana penerapan Good Corporate Governance (GCG) Dalam Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah. Dengan adanya GCG ini dapat mengurangi penyelewengan pengadaan barang dan jasa di BUMN, BUMD, PEMDA dan juga Kementerian dan Lembaga.
PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI INSTANSI PEMERINTAH
Menurut World Bank, pengertian Good Corporate Governance (GCG) adalah kumpulan kaidah hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. (Hassel Nogi S Tangkilisan, Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, Balaiurang & Co. Yogyakarta, 2003, hal.12). Lima tujuan utama prinsip Good Corporate Governance yaitu (Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, PT Ray Indonesia, Jakarta, 2005, hal 5) melindungi hak dan kepentingan pemegang saham, melindungi hak dan kepentingan para the stakeholders non pemegang saham, meningkatkan effisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan serta meningkatkan hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan. Penerapan Good Corporate Governance bukan semata-mata mencakup relasi dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar, pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat. Para penganjur pendekatan ini membayangkan munculnya hubungan yang sinergis antara ketiga institusi sehingga terwujud penyelenggaraan negara yang bersih, responsive, bertanggung jawab, semaraknya kehidupan masyarakat sipil serta kehidupan pasar/bisnis yang kompetitif dan bertanggung jawab.
Salah satu agenda yang harus dilaksanakan dalam pencapaian Good Corporate Governance adalah pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Salah satu kegiatan pemerintah dalam pelaksanaan APBN yang diindikasikan adanya tindakan KKN adalah pada tahap pengadaan barang dan jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia masih menduduki peran yang sangat penting untuk menggerakkan aktivitas ekonomi. Dikarenakan jumlah uang yang berputar cukup besar, keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik juga sangat besar. Oleh karena itu, Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi sarana yang cukup memadai untuk memperbaiki perilaku dunia usaha dan birokrat publik secara menyeluruh, terutama sebagai alat untuk memulai penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance). Selama ini Pengadaan barang/jasa pemerintah masih menghadapi kendala yang sangat serius. Tata cara Pengadaan barang/jasa pemerintah hanya dijalankan untuk memenuhi persyaratan formal tanpa memahami latar belakang, essensi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan. Karena itu hasilnya dapat kita saksikan bersama. Hampir seluruh hasil dari proses Pengadaan barang/jasa pemerintah menghasilkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar dan sering dengan kualitas yang kurang memadai serta dengan lingkup kerja yang kurang dari yang dipersyaratkan. 
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merebak dan merajalela di bidang Pengadaan barang/jasa pemerintah. Kerugian yang diakibatkan oleh praktek tersebut juga sangat memberatkan keuangan Negara karena yang menikmati kebocoran tersebut adalah individu atau orang tertentu diatas kerugian dan kesengsaraan masyarakat luas. Penyempurnaan aturan perundang-undangan, pelatihan pemahaman kepada seluruh pengelola Pengadaan barang/jasa pemerintah dan perbaikan proses Pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menguerangi kebocoran anggaran yang menjadi aspek penting dalam reformasi keuangan Negara yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Hakekatnya esensi, tujuan dan maksud Pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan pihak penyedia harus selalu berpedoman kepada filosofi dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah, tunduk kepada etika dan norma Pengadaan barang/jasa pemerintah yang berlaku, mengikuti dan memahami prinsip-prinsip dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah, serta menjalankan metoda dan proses Pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah berlaku.
Sesuai dengan Prisnisp-prinsip dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah yang tercantum dalam Keppres Nomor 80 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan Pengadaan barang/jasa pemerintah wajib menerapkan prinsip-prinsip :
1.      Efisien, berarti Pengadaan barang/jasa pemerintah harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.      Efektif berarti Pengadaan barang/jasa pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
3.      Terbuka dan bersaing berarti Pengadaan barang/jasa pemerintah harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/criteria tertentu berdasarkan kektentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
4.      Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuaka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.
5.      Adil/tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alas an apapun.
6.      Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.

Sedangkan etika dalam Pengadaan barang/jasa pemerintah terdapat dalam pasal 5 Keppres Nomor 80 tahun 2003 yaitu :
1.   Melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggunjawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan barang/jasa.
2.   Bekerja secara professional dan mandiri atas dasar kejujuran serta menjaga kerahasian dokumen Pengadaan barang/jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan barang/jasa.
3.   Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat.
4.   Menerima dan bertanggunjawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak.
5.   Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan barang/jasa.
6.   Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan Negara dalam Pengadaan barang/jasa.
7.   Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung tidak langsung merugikan keuangan Negara.
8.   Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan Pengadaan barang/jasa.

Penerapan Good Corporate Governance agar dapat mengurangi penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa di instansi Pemerintah maka pemanfaatan teknologi informasi (e-government, e-procurement, information technology)  adalah sesuatu yang mutlak, sehingga calo-calo/preman-preman proyek pemerintah bisa dihilangkan dan juga dapat menghemat biaya administrasi. Instansi Pemerintah sebagai pihak penyelenggara Pengadaan barang/jasa Pemerintah harus berkomitmen harus selalu mendukung pemerintahan yang bersih (clean government) melalui penandatanganan pakta integritas. Dalam Pasal 1 Keppres No.80/2003 mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah disebutkan bahwa yang dimaksud Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna barang/jasa/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan KKN dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Pakta Integritas merupakan suatu bentuk kesepakatan tertulis mengenai tranparansi dan pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa barang publik melalui dokumen-dokumen yang terkait, yang ditandatangani kedua belah pihak, baik sektor publik maupun penawar dari pihak swasta.

Pelaksanaan dari Pakta tersebut dipantau dan diawasi baik oleh organisasi masyarakat madani maupun oleh suatu badan independen dari pemerintah atau swasta yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut atau yang memang sudah ada dan tidak terkait dalam proses pengadaan barang dan jasa itu. Komponen penting lainnya dalam pakta ini adalah mekanisme resolusi konflik melalui arbitrasi dan sejumlah sanksi yang sebelumnya telah diumumkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang telah disepakati yang berlaku bagi kedua belah pihak. Hal yang paling penting dalam penegakan hukum dalam proses pengadaan barang dan jasa adala h adanya ketegasan, kejelasan dan keadilan. Selama ini kita lihat dilapangan, hanya pejabat pengadaan dan pejabat pengelolaan yang dihimbau untuk menegakkan peraturan pengadaan barang dan jasa. Namun disisi lain pihak pengusaha dan rekanan kurang ditegaskan dan penegakkan peraturan tersebut. Pada saat proses pelelangan sering ditemukan penawaran yang tidak wajar. Bila rekanan tersebut akhirnya ditetapkan jadi pemenang lelang, kegiatan tsb tdk dapat dikerjakan dengan baik sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan dengan alas an dananya tidak mencukupi. Atau pekerjaan ditelantarkan dengan alas an yang tidak jelas.

KESIMPULAN :
Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi (e-government, e-procurement, information technology) dan penanda tanganan Pakta Integritas antara pelaku Pengadaan Barang dan Jasa.

Kometar yang berkaitan dengan Etika Bisnis:
Menurut pendapat saya, Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang dapat mengarahkan dan menjalankan sebuah perusahaan yang dapat dilihat dari aspek hard definition maupun soft definition untuk dapat mempertanggung jawabkan kepada shareholders dan stakeholders demi untuk kemajuan perusahaan tersebut.

Sumber :
http://treasury-state.blogspot.com/2010/06/penerapan-prinsip-good-corporate.html

TUGAS GCG

Nama   : Siti Mardianah
Npm    : 16210600
Kelas   : 4EA16

Penerapan GCG dalam BUMN 



Jakarta –  PT Sucofindo, kunjungi kantor pusat Pertamina pada Rabu (16/1), dalam rangka bechmark impelemtasi Good Corporate Governance (GCG) di Pertamina. Kedatangan rombongan PT Sucofindo disambut langsung oleh Corporate Secretary Pertamina, Nursatyo Argo beserta tim dari Compliance. Rombongan yang datang terdiri dari Direktur Utama Sucofindo, Arief Safari beserta tim Sistem Manajemen, GCG dan Resiko (SGR) Sucofindo.  Dalam sambutanya  Arief Safari mengatakan bahwa kunjungan ini merupakan sebentuk upaya Sucofindo dalam membangun sistem yang baik melalui GCG untuk menjaga integritas, kepercayaan dengan menjadi independent dan berintegritas yang tinggi. Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan temuan di lapangan,  divisi Sistem Manajemen, GCG dan Resiko Sucofindo mengungkapkan bahwa impementasi GCG di Pertamina itu sangat baik.
Penerapan GCG di Sucofindo sudah bergulir sejak tahun 1999, dan divisi yang menangani GCG sendiri baru dibentuk April tahun lalu. Namun dalam perkembangannya tidak berlangsung mulus. “Masih banyak yang harus kami perbaiki, kami mendengar di pelaksanaan GCG di Pertamina sangat baik, IRM Majority nya baik, apalagi dengan diterapkan di semua holding,” ungkap Kepala Divisi Sistem Manajemen, GCG dan Resiko (SGR) Sucofindo, Bangkit Andriawan yang juga hadir dalam kesempatan tersebut. Terkait dengan itu Corporate Secretary Pertamina Nursatyo Argo mengatakan bahwa  GCG merupakan hal yang sangat penting bukan hanya untuk perusahaan tapi juga untuk negara. “Kami di Pertamina sangat concern akan GCG, dan itu sudah kami mulai  sejak tahun 2003, sampai  akhirnya dibentuk Fungsinya sendiri, Fungsi Compliance,” imbuhnya.
Pertamina membentuk Fungsi Manajemen GCG dan Komite GCG dibentuk pada tanggal 16 Januari 2006, berdasarkan Surat Dewan Komisaris Nomor 10/k/DK/2006. Pada tahun 2009 kemudian Fungsi ini berubah menjadi Fungsi Compliance. Dibawah Fungsi dan managemennya, penerapan program GCG terus dikembangkan di Pertamina melalui berbagai spektrum implementasi, seperti Whistle Blowing System (WBS) dan Compliance Online System. WBS merupakan upaya preventif, dimana ada suatu sistem yang  memberikan sarana untuk para insan Pertamina untuk membantu membuat pengaduan mengenai unethetical behavior (perilaku tidak etis) secara anonim, rahasia, dan independent. “WBS berperan membuka prakti-praktik keurangan karena adanya pengabaian kontrol internal yang ada. Selain itu ia juga memberikan informasi penyimpangan substantif walaupun internal kontrol yanga da tidak dilanggar,” kata Corporate Secretary Pertamina Nursatyo Argo. Penerapan GCG di Pertamina juga berhasil menuai sejumlah pengahargaan seperti posisi pertama pada Studi Prakasa Anti Korupsi oleh KPK 2011, Most Trusted Company 2011 dari majalah SWA dan CGPI, dan Runner Up Inovasi GCG BUMN 2012 dari Kementrian BUMN. Pertamina dikenal sebagai pelopor GCG di BUMN.

Sumber :
http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/sucofindo-pelajari-penerapan-gcg-pertamina/

TUGAS GCG

Nama   : Siti Mardianah
Npm    : 16210600
Kelas   : 4EA16

Penerapan GCG Perbankan


Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah pengawasan internal. Cakupan penerapan prinsip-prinsip GCG dimaksud paling kurang harus diwujudkan dalam:
  1. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
  2. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
  3. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
  4. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
  5. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
  6. rencana strategis Bank;
  7. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Mengingat tujuan pelaksanaan GCG adalah untuk memberikan nilai perusahaan yang maksimal bagi para Stakeholder maka prinsip-prinsip GCG tersebut harus juga diwujudkan dalam hubungan Bank dengan para Stakeholder.  Secara singkat cakupan penerapan GCG tersebut diuraikan sebagai berikut :
A.  Struktur Organisasi Good Corporate Governance
Struktur Organisasi GCG secara garis besar adalah terdiri dari :
  1. Rapat Umum Pemegang Saham
  2. Dewan Komisaris
  3. Direksi
  4. Komite-Komite dibawah Dewan Komisaris
  5. Satuan Kerja Kepatuhan
  6. Satuan Kerja Audit Intern
  7. Audit Ekstern
  8. Satuan Kerja Manajemen Risiko
  9. Stakeholders
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Bank dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Bank yang berlaku. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan forum dimana Direksi dan Komisaris melaporkan dan bertanggungjawab atas kinerja mereka terhadap Pemegang Saham.
Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen dan paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.
Direksi
Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dan wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan, serta hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali. Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham, harus memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di bidang operasional sebagai Pejabat Eksekutif bank (tidak termasuk Bank Perkreditan Rakyat). Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
KOMITE – KOMITE
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris dibantu oleh sekurang-kurangnya :
a. Komite Audit
b. Komite Pemantau Risiko
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
FUNGSI KEPATUHAN
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Dalam rangka memastikan kepatuhan, Bank wajib menunjuk seorang Direktur Kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum.
Satuan Kerja Kepatuhan
Dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi Direktur Kepatuhan secara efektif, Bank membentuk satuan kerja kepatuhan (compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja operasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Direktur Kepatuhan wajib mencegah direksi Bank agar tidak menempuh kebijakan dan/atau menetapkan keputusan yang menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara berkala kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris.
Fungsi Audit Intern
Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank wajib membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang independen terhadap satuan kerja operasional. Dalam melaksanakan tugasnya SKAI menyampaikan laporan kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Pemimpin SKAI diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama Bank dengan persetujuan Dewan Komisaris.
Fungsi Audit Ekstern
  1. Bank wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan keuangan Bank.
  2. Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan calon yang diajukan oleh dewan Komisaris sesuai rekomendasi Komite Audit.
  3. Audit dan penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Satuan Kerja Manajemen Risiko & Komite Manajemen Risiko
Dalam kaitan dengan pengembangan struktur organisasi yang ada, Bank wajib membentuk Komite Manajemen Risiko (Risk Management Committee) dan Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit).
Pengendalian Intern
Pengendalian intern merupakan suatu mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh manajemen Bank secara berkesinambungan (on going basis), guna:
  1. menjaga dan mengamankan harta kekayaan Bank;
  2. menjamin tersedianya laporan yang lebih akurat;
  3. meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
  4. mengurangi dampak keuangan/kerugian, penyimpangan termasuk kecurangan/fraud, dan pelanggaran aspek kehati-hatian;
  5. meningkatkan efektivitas organisasi dan meningkatkan efisiensi biaya.
PENYEDIAAN DANA KEPADA PIHAK TERKAIT DAN PENYEDIAAN DANA BESAR
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai akibat konsentrasi  penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus Bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan. Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan dana besar (large exposures) wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko Bank wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
RENCANA STRATEGIS BANK
  1. Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk rencana korporasi (corporate plan) / rencana jangka panjang dan rencana bisnis (business plan) / rencana jangka pendek.
  2. Penyampaian rencana korporasi (corporate plan) dan perubahannya kepada Bank Indonesia berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum.
  3. Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business plan) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
  4. Rencana korporasi /rencana jangka panjang Bank  merupakan cerminan dari visi Bank.­  
HUBUNGAN DENGAN STAKEHOLDERS
Bank memiliki sensitivitas untuk melakukan hubungan secara positif dengan financial maupun non-financial stakeholders, termasuk dengan pegawai Perseroan, masyarakat setempat, kepentingan lingkungan hidup, regulator (Bank Indonesia, Bapepam, BEJ dan BES) dan pemerintah. Pengaruh dari external stakeholders tidak boleh mengacaukan kegiatan operasi yang sudah direncanakan oleh Perseroan, sehingga diperlukan adanya penelitian yang cermat atas pengaruh positif dan negatif dari external stakeholders tersebut.

Sumber : 
http://lindadolphin.blogspot.com/2013/11/tugas-gcg-2.html